Nama : Amril Mukminin
Emanuel Mite
Tugas Paper : Penanganan Pasca Panen
Peningkatan
Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Perikanan
Wadi
Fermentasi Ikan Tradisional Dayak
dan Banjar
Selain
penyantap segala hasil sungai, masyarakat Dayak dan Banjar juga
dikenal sebagai peladang yang piawai menanam berpuluh jenis padi ladang.
Peladangan berpindah kerap menjauhkan orang Dayak dan Banjar dari sungainya, siklus hidup
yang membuat mereka menguasai teknologi pengawetan ikan. Yang paling khas dan
bercita rasa kuat adalah wadi, pengawetan ikan dengan proses fermentasi.
Jemari Nanang
Akhmad (34) cekatan memasukkan potongan ikan gurami ke dalam stoples plastik di
sebuah kios Pasar Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, akhir Oktober
lalu. Potongan ikan yang hendak diolah menjadi wadi atau ikan terfermentasi
tersebut sudah menjalani rangkaian pengolahan selama dua hari dua malam
sebelumnya.
Awalnya, ikan
yang sudah dipotong-potong seukuran separuh telapak tangan orang dewasa itu
ditaburi garam selama sehari semalam. Keesokan paginya, potongan ikan tersebut
dicuci untuk menghilangkan garam. Selanjutnya, potongan ikan itu direndam
larutan gula aren sehari semalam. Keesokan harinya, potongan ikan ditiriskan
dan ditaburi irisan bawang putih agar beraroma harum.
Potongan ikan
tersebut yang siang itu dimasukkan Nanang ke dalam stoples. Nanang pun kemudian
menaburkan butiran beras berwarna coklat kekuningan ke potongan ikan. Butiran
beras itu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian proses. Diawali pencucian,
penirisan selama semalam, disangrai hingga coklat kekuningan, hingga beras
tersebut digiling kasar.
Sekitar
seminggu kemudian, potongan ikan yang sudah ditaburi beras menjadi wadi. Ikan
terfermentasi yang menyengat baunya, tetapi lezat rasanya. ”Satu kilogram ikan
mentah kalau dijual Rp 70.000. Kalau sudah jadi wadi, harganya bisa Rp 90.000
per kilogram,” kata Nanang, pedagang Banjar dari Kalimantan Selatan yang
sehari-hari menjual ikan segar maupun wadi olahan sendiri tersebut.
Pemrosesan
wadi yang sejak lama telah dikenal turun-temurun oleh warga Dayak dan Banjar di
Kalimantan ini mampu memperpanjang lama simpan ikan tangkapan. Ikan jelawat,
papuyu, baung, gabus, gurami, dan jenis-jenis lainnya yang sudah jadi wadi
tahan disimpan hingga berbulan-bulan. Inilah sumber kelezatan salah satu menu
yang kami cicipi di rumah makan Palangka, ikan wadi dengan rasa asam yang unik,
dan membuat kami tak henti menyantapnya.
Ketika mencium
bau busuk menyengat dari ikan yang diolah menjadi wadi, kami tertawa-tawa dan
merasa beruntung sudah mencicipi rasanya berbahan wadi. Kalaulah kami mengenal
bau wadi sebelum menyantapnya, bisa jadi kami tak akan pernah memakannya.
Padahal, kalau ingin menemukan cita rasa bersantap ikan yang sama sekali
berbeda, justru olahan fermentasi wadi pilihan terbaiknya.
Cadangan pangan
Antropolog
Marko Mahin menuturkan, pengolahan ikan - baik diasinkan atau difermentasi
menjadi wadi–merupakan bagian strategi warga Dayak mengatur pola makan. Wadi
menjadi cadangan makanan saat warga sedang disibukkan dengan kegiatan berladang
atau memanen padi.
Ketika sedang
bertanam atau memanen padi tersebut, warga yang tidak sempat berburu atau
menangkap ikan tinggal mengeluarkan persediaan wadi yang mereka simpan di
balanai (guci, belanga). ”Balanai wadi itu belanga untuk menyimpan wadi. Fungsi
guci ini semacam kulkas. Tiap keluarga selalu punya. Dikeluarkan saat musim
mereka sibuk kerja di ladang,” kata Marko.
Peneliti dari
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Petrus,
mengatakan, pengolahan ikan menjadi wadi merupakan bentuk kearifan lokal warga
Dayak dalam menghadapi paceklik atau musim sepi ikan. Pengasinan atau proses
fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri merugikan.
Melalui cara ini, ikan tidak rusak membusuk meskipun disimpan dalam waktu
relatif lama.
Turun temurun
Pengolahan
wadi dan mengonsumsinya di saat musim bertanam padi bahkan sudah menjadi
kebiasaan turun-temurun warga setempat. ”Bukan main cita rasa wadi yang
disantap bersama nasi panas saat warga berladang,” kata Petrus.
Petrus pun
pernah meneliti takaran garam yang pas untuk membuat wadi agar rasanya bisa
diterima khalayak lebih luas. Sebanyak 100 orang dari tiga kecamatan yang
merupakan pusat industri rumah tangga wadi di Kalimantan Selatan–yakni Gambut,
Kertak Hanyar, dan Astambul–dilibatkan dalam penelitian tersebut. Mereka
masing-masing diberi 5 kilogram ikan untuk diolah menjadi wadi dengan takaran
garam sesuai kebiasaan.
Uji
organoleptik untuk mengetes rasa dilakukan terhadap wadi yang sudah
difermentasi seminggu. Didapati bahwa wadi terenak adalah yang menggunakan
garam sebanyak 15 persen terhadap berat total ikan. ”Saya mencoba lagi untuk
mengubah cita rasa, yakni dengan memakai gula merah dengan beragam takaran,”
kata Petrus.
Wadi yang
diolah dengan gula aren terlalu banyak akan menghitam ketika digoreng sehingga
penampilannya tidak menarik. Didapati bahwa persentase gula aren yang pas
ditambahkan dalam pembuatan wadi adalah 15 persen terhadap berat total ikan.
Petrus pun kemudian menambahkan jus jeruk nipis dalam pembuatan wadi. Diperoleh
hasil bahwa penambahan jus jeruk nipis berkadar 4 persen paling enak dalam
membuat wadi.
”Jadi
didapatilah (formula) terbaik, yakni 15 persen garam, 15 persen gula aren, dan
4 persen jeruk nipis. Rasanya nano-nano sehingga diharapkan pemasaran wadi
nantinya tidak hanya di Kalimantan,” kata Petrus. Penelitian Petrus merupakan
sebentuk upaya menjaga eksistensi makanan olahan khas Dayak.
Proses
pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak pun terdokumentasikan dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan
Leluhur) (Penerbit Pusakalima : 2003). Buku yang disunting Nila
Riwut tersebut didasarkan pada buku Kalimantan Memanggil
serta Kalimantan
Membangun karya Tjilik Riwut
(1918-1987). Selain itu juga dilengkapi catatan harian, naskah, dan dokumen
yang dikumpulkan Tjilik Riwut semasa hidup.
Menurut isi
buku tersebut, bahan yang dicampurkan pada ikan yang digarami untuk dijadikan
wadi bukanlah beras– melainkan padi–yang disangrai. Padi tersebut disangrai
hingga kering. Pada kondisi masih panas, padi sangrai itu ditumbuk halus dan
dicampurkan merata pada ikan yang digarami. Selanjutnya disimpan dalam balanga
atau bambu tertutup rapat. Melalui cara ini, wadi disebutkan bisa tahan hingga
setahun. (C Anto Saptowalyono/Dwi Bayu Radius)
Komentar
Posting Komentar